NASKAH LOMBA BACA PUISI
PUISI
WAJIB
CATATAN TAHUN 1946
(Chairil Anwar)
Ada
tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan
cahaya di air hilang bentuk dalam
kabut,
Dan suara
yang kucintai ‘kan berhenti
membelai.
Kupahat batu
nisan sendiri dan kupagut.
Kita –anjing
diburu- hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu
Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir
seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya
harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita
nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil
sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu;
Kita memburu
arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat
Karena itu
jangan mengerdip, tatap dan penamu
asah, tulis
karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!
NASKAH LOMBA BACA PUISI (PILIHAN)
DEWI PADI
(Made Adnyana Ole)
Dewi Padi,
Kekasih
sejati segala yang hidup
Kelak
membajak bumi sendiri
Bersama sapi
suci dan air perasan hati
Sementara
anak-anakku
Yang biasa meniup
seruling
Dari liang perih batang
padi
Kini menjala
bulu bangau dan sayap belalang
yang rontok
dari langit
bagaimana
mereka bisa dewasa?
Sedang musim
selalu saja ingkar janji
Tapi
sesungguhnya darimana asal-Mu, Dewi?
Sedang
segala dongeng hari ini
meminta-Mu
pulang ke tugu-tugu tua
ke hulu-hulu hati yang
kupuja
Biar
belalang menggoda musim
Bangau-bangau
pulang. Dan anak-anakku
Bermain di
pelimbahan
Dewi padi
Kelak
mendongeng sendiri
NASKAH LOMBA BACA PUISI (PILIHAN)
DARI PURA TANAH LOT
(Umbu Landu Paranggi)
inilah bunga
angin dan tirta air kelapa muda
para peladang
yang membalik balik tanah dengan tugal
agar bermuka
muka langit tinggal serta dalamku
bercocok
tanam mengidungkan musik dwitunggal
dan seruling
tidur ayam di dangau pinggir tegalan
atau
sepanjang pematang sampai ke batang air
duduklah
bersila di atas tumpukan
batu batu
karang ini lakon lakon
rumput dan
sayur laut mengirimkan gurau ombak
seraya uap
air memercik pedihku
beribu para
aku sebrang sana datang
mengabadikanmu
pasang naik pasang surut
dan kini
giliran asal bunyi sunyiku menggapai puncak meru
ke gunung
gunung agung tengadah mataku mengail ufuk
tak teduh
mengairi kasihku
NASKAH LOMBA BACA PUISI (PILIHAN)
TAHUN YANG LEWAT
(Reina Caesilia)
kita bercakap-cakap
singkat
di penghujung jalan
penuh cahaya kembang api
dan petasan
orang-orang bersorak di
trotoar
pertokoan ramai
memandang
mercusuar
dan menghitung bintang
dan angka-angka romawi
detak jam
suara terompet
lalu kita
menjamah malam
mencoba melompat ke arah
waktu
mungkin
tahun telah lalu
lewat celah
matamu
memburam
seperti warna,
beterbangan
kelak ia memuja masa
lalu
NASKAH LOMBA BACA PUISI (PILIHAN)
SELAMAT PAGI INDONESIA
(Sapardi Djoko Damono)
selamat
pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat
pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu
NASKAH LOMBA BACA PUISI (PILIHAN)
SELAMAT JALAN I GUSTI NYOMAN LEMPAD
(Frans Nadjira)
Untuk
kali terakhir
kata menjengukmu
karena kata cuma milikku:
“Selamat jalan, batu paras
yang ditatah dengan kapak”
Di suatu desa ada sumber air panas
menjangan-menjangan berkumpul di sana.
Termangu. Mengapa angin pagi ini terasa
liar. Ini bukan tarian biasa. Ia membelit
ia melilit. Seperti berobah perangainya.
Langitpun jatuh. Melekat
seperti kaki-kaki gurita. Dukaku
memeluk lengan menjangan-menjangan
yang bernyanyi perlahan:
“Kubuatkan ayunan lengkung cahaya
di kaki langit. Kami yang nampak
karena lahir. Matahari silam, topeng-topeng
buatkan kami nyanyian untuk berangkat”.
Karena kata cuma milikku
Kujenguk kau dengan kata:
“Selamat jalan, batu paras
yang ditatah dengan kapak”
kata menjengukmu
karena kata cuma milikku:
“Selamat jalan, batu paras
yang ditatah dengan kapak”
Di suatu desa ada sumber air panas
menjangan-menjangan berkumpul di sana.
Termangu. Mengapa angin pagi ini terasa
liar. Ini bukan tarian biasa. Ia membelit
ia melilit. Seperti berobah perangainya.
Langitpun jatuh. Melekat
seperti kaki-kaki gurita. Dukaku
memeluk lengan menjangan-menjangan
yang bernyanyi perlahan:
“Kubuatkan ayunan lengkung cahaya
di kaki langit. Kami yang nampak
karena lahir. Matahari silam, topeng-topeng
buatkan kami nyanyian untuk berangkat”.
Karena kata cuma milikku
Kujenguk kau dengan kata:
“Selamat jalan, batu paras
yang ditatah dengan kapak”
Komentar
Posting Komentar